Menghargai Kekayaan Intelektual
Sebuah Octalogi #IDKS
Part
7
Salam Redaksi
Assalamu’alaikum wr. wb.
Hallo
sahabat pustaka, kembali lagi bersama dengan saya Suwanto. Pertama kalinya saa
ucapkan berjuta-juta terima kasih atas kunjungannya, selamat datang di blog
pribadi saya. Saya mohon ma’af jika terdapat banyak salah kata dalam konten di blog
ini, lebih-lebih selama tujuh kali edisi Octalogi #IDKS yang telah terbit, tentunya banyak sekali kesalahan. Oleh karenanya, dengan kerendahan hati saya membuka pintu lebar-lebar masukan
kritik dan saran yang konstruktif sebagai bahan evaluasi guna perbaikan di
edisi berikutnya.
Adapun untuk edisi “Octalogi #IDKS
Part 7 kali ini, yang merupakan edisi terakhir dari Octalogi #IDKS, saya akan berbicara mengenai hak cipta (copyright). Mungkin temen-temen sudah sering mendengarkan istilah
hak cipta atau copyright. Kita
biasanya menjumpai istilah ini di bagian awal buku, benar kan???
Berbicara mengenai hak cipta tentu erat
kaitannya dengan istilah plagiat atau plagiarisme. Fenomena plagiat rasanya
sudah menjadi kasus yang kerap terjadi di negeri ini. Banyak orang mulai dari
siswa, mahasiswa, guru, dosen, sampai profesor sekalipun tersandung kasus ini.
Tidak sedikit dari mereka juga dicopot gelarnya akibat melakukan plagiat.
Gimana ngeri kan akibatnya???
Rasanya sebagai insan akademisi kita
harus tahu banyak hal tentang hak cipta supaya kita tidak terseret melakukan
kejahatan intelektual “plagiarisme”. Gimana penasaran kan??? Nah, untuk lebih
detilnya silahkan baca blog ini sampai tuntas yach, mangga atu.
Salam hangat,
Muhammad Adam
HAK
CIPTA
Hak
cipta di zaman modern ini menjadi hal yang penting bukan semata-mata untuk
lisensi dan klaim kepemilikan akan tetapi juga untuk melindungi ciptaan dan
penciptanya dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sehingga menimbulkan
kerugian bagi pencipta maupun masyarakat secara luas. Menurut Gatot Supramono
dalam hak cipta selalu terkait dengan ciptaan, pencipta, hak cipta dan pemegang
hak cipta karena keempatnya saling berhubungan dan terkait satu sama lainnya.
Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta (UUHC), hak cipta diartikan sebagai hak eksklusif bagi pencipta atau
penerima hak untuk mengumumkan, memperbanyak, dan memberi izin dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut undang-undang. Hak eksklusif yang
dimaksud bahwa pemegang hak cipta berhak sepenuhnya atas ciptaan sehingga pihak
lain yang tidak memiliki hak dilarang menggunakannya tanpa seizin pemegang hak
cipta (Gatot Supramono, 2010). Ciptaan dipahami sebagai hasil karya seseorang
yang masuk dalam lingkup ilmu pengetahuan, seni, dan sastra selain itu ciptaan
juga harus berbentuk konkrit dan nyata sehingga dapat ditangkap oleh panca
indra.
Pencipta
merupakan orang/sekelompok orang yang menghasilkan suatu ciptaan. Pencipta
dapat didaftarkan dengan nama lebih dari satu orang dengan syarat semua orang
yang terlibat memberikan sumbangsih dalam ciptaan tersebut. Dalam hal ini dapat
dipahami bahwa badan hukum (PT, Yayasan, CV dan sejenisnya) tidak mungkin jadi
pencipta (Gatot Pramono, 2010) sebab mereka tidak memenuhi syarat
keterlibatan orang yang memberikan
sumbangsih yang memadai dalam karya tersebut. Namun demikian berdasarkan UUHC pasal
9 hal tersebut sangat mungkin dilakukan dengan syarat pendaftaran bukan atas
nama perorangan akan tetapi atas nama badan hukum terrsebut sehingga pemegang
hak pencipta bukan pada orang yang berada di badan hukum akan tetapi pada badan
hukumnya. Berdasarkan teori sebenarnya
badan hukum sangat mungkin menjadi pencipta karena badan hukum mempunyai
kedudukan sebagai subjek hukum yang sama dengan manusia sehingga jika badan
hukum membuat suatu ciptaan maka merekalah penciptanya.
Pemegang
hak cipta berdasarkan UUHC pasal 1 angka 4 adalah pencipta sebagai pembuat
ciptaan dan pihak yang telah diberikan izin untuk menggunakan hak cipta dari
pencipta. Pencipta sebagai pemegang hak cipta tidak perlu melalui proses hukum
sebab terjadi secara otomatis ketika ciptaan tersebut berhasil dibuatnya
sedangkan pihak lain sebagai pemegang hak cipta wajib melalui proses hukum
yaitu dengan perjanjian lisensi. Pencipta memiliki hak memberikan lisensi
kepada pihak lain sebagai penerima lisensi dan pihak penerima tersebut juga
dapat memberikan lisensi kepada pihak lain (Gatot Supramono. 2010).
Berdasarkan UUHC pasal 12 ayat 1 karya-karya yang
dilindungi adalah karya intelektual dalam lingkup ilmu pengetahuan, seni, dan
sastra. Karya tersebut seperti buku, alat peraga, logo, lukisan, dsb. Ide tidak
dilindungi oleh hak cipta karena ide bukan sesutu yang berwujud ataupun
berbentuk konkrit. Hak cipta hanya diberikan pada karya yang dapat ditangkap
oleh panca indera (Yusran Isnaini, 2010).
Selain
hal diatas ada juga ciptaan yang tidak ada hak ciptanya sehingga setiap
orangdapat dengan bebas menggunakannya tanpa izin. Yang termasuk dalam ketegori
ini adalah hasil rapat lembaga negara, peraturan undang-undang, pidato
kenegaraan/pejabat pemerintah, keputusan pengadilan, dan keputusan badan
arbitrasi atau keputusan sejenis. Beberapa benda yang berhubungan dengan
sejarah dan kebudayaan ataupun tulisan yang sudah tidak lagi diketahui
penciptanya seperti foklor, benda sejarah dan benda sejenisnya termasuk tuan
tulisan pemerintah yang memegang hak ciptanya dengan tujuan melndungi
kepentingan umum dan pencipta yang tidak diketahui dari penyalah gunaan pihak
yang tidak bertanggung jawab (Gatot Supramono, 2010).
Hak
eksklusif yang diberikan kepada pencipta dan pemegang lisensi melalui hukum
bukan berarti melarang pihak yang tidak memegang lisensi untuk menggunakan sama
sekali sebab dalam UUHC Pasal 15 pihak yang tidak memiliki lisensi jika ingin
menggunakan harus mencantumkan dengan jelas sumbernya agar tidak melanggar hak cipta.
Dalam pasal tersebut penggunaan yang di izinkan tanpa lisensi hanya terbatas
pada 5 hal pokok, yaitu:
1.
Penggunaan untuk kepentingan pendidikan, karya ilmiah,
laporan, penyususan kritik ataupun tinjauan suatu masalah dengan tidak
merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta.
2.
Untuk pembelaan di dalam maupun di luar
pengadilan
3.
Untuk keperluan ceramah dengan tujuan
pendidikan atau ilmu pengetahuan dan pertunjukan yang bersifat gratis dengan
ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya.
4.
Perbanyakan hak cipta kedalam huruf Braille dan
tidak bersifat komersil.
5.
Perbanyakan yang dilakukan oleh perpustakaan
umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, pusat dokumentasi yang non
komersial yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan aktivitasnya dapat
dilakukan kecuali pada program komputer tetap tidak diizinkan.
DAFTAR PUSTAKA
Supramono, Gatot. 2010. Hak Cipta dan Aspek-Aspek Hukumnya. Bandung: Rineka Cipta.
Isnaini, Yusran. 2010. Buku Pintar HAKI. Bogor: Ghalia Indonesia.