Sabtu, 01 Maret 2014

Mahasiswa dan Politik Praktis



REVITAFORMASI MAHASISWA SEBAGAI AGENT OF CHANGE DAN SOCIAL CONTROL DALAM REFLEKSI SEJARAH NASIONAL 

Oleh: Suwanto
 
Sejarah telah mencatat bahwa peranan mahasiswa sebagai agent of change dan social control sangatlah besar di kancah percaturan politik serta perubahan sosial negeri ini. Mahasiswa dengan kapasitas intelektual dan militansinya, mampu mengkritisi tidak hanya ketidaksesuaian kebijakan internal kampus akan tetapi meluas ke lingkup nasional melawan kebijakan pemerintahan yang dinilai mencederai demokrasi. Gerakan mahasiswa tahun 1966, 1974, 1978, dan disusul reformasi 1998 merupakan bukti kedigdayaan mahasiswa dalam merespon kemacetan good government dan governance yang selama ini diimpi-impikan bangsa Indonesia. Realita inilah yang menginspirasi Taufik Ismail untuk membuat puisi yang berjudul “Takut 66, Takut 98”, yang berbunyi sebagai berikut:
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa.. 1998
Pada baris terakhir puisi di atas yaitu “Presiden takut pada mahasiswa.. 1998” merupakan realita yang tidak terbantahkan lagi. Salah satu bukti nyata yaitu lengsernya kekuasaan otoritarian rezim Soeharto, dimana mahasiswa sebagai aktor protagonis dalam drama reformasi 1998 yang dalam episode pentingnya mampu memaksa Soeharto turun dari tahta kepresidenan Indonesia. Artinya, dari semua track record gerakan mahasiswa yang telah ditorehkan dalam sejarah bangsa Indonesia, kiasan hiperbola yang sesuai ialah ketika massa mahasiswa sudah bergerak mendobrak, gunung yang menjulang tinggipun dapat runtuh.
Peranan mahasiswa sebagai agent of change dan social control tentunya tidak sebatas dalam arti konvensional yaitu gerakan massa atau aksi kolektif seperti yang telah disinggung di atas. Namun, jika menelusuri sejarah sejatinya semenjak awal perjuangan kemerdekaan Indonesia, yaitu masa kolonialisme, tonggak peranan mahasiswa sudah ada, bahkan seringkali berposisi di garda depan sebagai social community yang memotori terwujudnya cita-cita perubahan.
Peranan Mahasiswa Sebelum Kemerdekaan
Lahirnya generasi pertama kaum intelektual modern termasuk mahasiswa didorong oleh dinamika sikap politik kolonial Belanda melalui “Politik Etis” tahun 1901. Meskipun implementasi politik ini kurang memuaskan, akan tetapi dalam aspek pendidikan telah melahirkan kaum terpelajar. Kemajuan pendidikan yang berhasil mereka raih berimplikasi pada peningkatan kesadaran politik berupa kesadaran nasionalisme yaitu ikut merasa empati sebagai rakyat yang terjajah. Kesadaran nasionalisme inilah, kemudian tereflesikan melalui protes sosial terhadap kolonial Belanda. Dialektika antara kondisi subjektif (nasionalisme) dan objektif (kolonialisme) itulah yang melatarbelakangi perjuangan kelompok pergerakan mahasiswa sebelum kemerdekaan (Adi Suryadi Culla, 1999: 18-20).
Pada tahun 1908 lahirlah Boedi Oetomo yang merupakan embrio dan tonggak kebangkitan nasional, dimana dalam pembentukannya dimotori oleh kaum terpelajar dan mahasiswa. Para aktivis Boedi Oetomo kebanyakan berasal dari STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Artsen), yaitu sebuah sekolah kedokteran di Jakarta. Pada tahun yang sama, mahasiswa yang belajar di Belanda membentuk Indische Vereeninging yang kemudian berubah menjadi Indonesische Vereenenging tahun 1922 dan terakhir berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia tahun 1925. Kehadiran Boedi Oetomo dan Perhimpunan Indonesia ini merupakan episode sejarah yang menandai munculnya angkatan pembaharu dengan mahasiswa sebagai aktor terdepannya dalam mencapai misi kesadaran kebangsaan untuk memperoleh kemerdekaan (Adi Suryadi Culla, 1999: 22).
Memang tidak dipungkiri, terdapat kelemahan mahasiswa untuk membangun aksi kolektif yang kuat, karena jumlah mereka pada saat itu masih sedikit. George Mc T. Kahin (1952) mencatat sampai dengan masuknya Jepang, jumlah mahasiswa Indonesia hanyalah 637 orang. Suatu jumlah yang amat kecil jika dibandingkan dengan kuantitas mahasiswa paska kemerdekaan. Data dari Harsya W. Bachtiar yang mencatat pada tahun 1965 jumlah itu melonjak menjadi 280.000 mahasiswa itupun belum termasuk mahasiswa yang terdaftar di perguruan tinggi swasta (Ridwan Saidi, 1989: 75). Apalagi jika dibandingkan dengan era 90-an lebih-lebih sekarang ini tentu sangat jauh berbeda.
Kuantitas yang sedikit tersebut bukanlah penghalang bagi mahasiswa dalam memperjuangkan idealismenya untuk menumbuhkan kesadaran politik. Menurut John Ingleson (1988) gerakan mahasiswa pada saat itu banyak berkiprah pada perkumpulan sebagai wadah artikulatif mahasiswa seperti Kelompok Studi Indonesia (Indonesisce Studie-club) tahun 1923, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) yang realisasinya dipelopori mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik Bandung, dimotori oleh Soekarno tahun 1925. Kemudian pada tahun 1926 muncul PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia) dan disusul oleh SIS (Studenten Islam Studie-club), St. Bellarmius, dan CSV (Cristelijke Studenten Vereninging) yang ketiganya lahir di tahun 1030-an (Ridwan Saidi, 1989: 127).
Misi sejarah generasi mahasiswa 1908 yaitu kebangkitan nasional kemudian direspon oleh generasi 1928 dengan menggalang kesatuan pemuda yang sebagian besar masih berorientasi primodial dan kedaerahan. Kelahiran generasi ini dalam sejarah Indonesia kemudian ditegaskan dengan tercetusnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, yang sebagian besar pionirnya adalah mahasiswa.
Pada masa pendudukan Jepang aktivitas studi mahasiswa mengalami disharmoni, disorganisasi, dan distorsi akibat banyak perguruan tinggi yang ditutup, bahkan lebih jauh lagi adanya larangan kegiatan yang berbau politik dengan membubarkan seluruh organisasi mahasiswa. Sampai pada akhirnya lahir generasi mahasiswa 1945 dalam episode pamungkas peranan mahasiswa sebelum kemerdekaan yang dalam perkembangannya merekalah yang memanfaatkan peluang historis dengan baik terjadinya proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Peranan Mahasiswa Paska Kemerdekaan
Pada masa awal kemerdekaan, yakni periode revolusi kemerdekaan hingga demokrasi parlementer pola kegiatan mahasiswa kebanyakan diisi dengan kegiatan sosial seperti olahraga, pers, dan klub belajar. Hal ini disebabkan karena adanya orientasi pemikiran kembali ke kampus (back to campus) dan epigraf kebebasan akademik (academic freedom) yang mampu menghipnotis semangat mahasiswa sehingga hanya sedikit atensi mereka untuk memikirkan masalah politik. Pada masa demokrasi parlementer banyak muncul organisasi mahasiswa yang bersifat underbouw partai politik seperti GMNI, PMII, HMI, dan lain-lain.
Gejolak aksi protes mahasiswa yang masif mulai menampakkan taringnya kembali, setelah muncul gerakan mahasiswa 1966 yang berdampak pada perubahan politik yakni suksesi atau peralihan kekuasaan dari Orde Lama menuju Orde Baru. Laporan gerakan ini bahkan ditulis dalam majalah Amerika Pace (1968) yang menyebutnya sebagai 60 days that shoock the world dimana pada saat itu selama 60 hari demonstrasi mahasiswa hampir terjadi setiap hari. Menurut Francois Raillon (1985) kronologi 60 hari tersebut berawal dari pencetusan konsep Tiga Tuntunan Rakyat (Tritura) oleh mahasiswa, meliputi bubarkan PKI, rombak (retooling) kabinet, dan turunkan harga. Penandatanganan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) oleh Soekarno menandai awal Orde Baru dan tampilnya kekuasaan militer di Indonesia dengan Soeharto sebagai patronnya.
Paska peristiwa 1966 dalam jangka waktu cukup lama gerakan mahasiswa tidak menunjukkan gaungnya. Hal ini disebabkan disamping mahasiswa kembali dalam kehidupan akademiknya juga memberikan kesempatan kepada penguasa Orde Baru untuk merealisasikan komitmen pembaharuan politik yang telah dicita-citakan. Namun, seiring mulai munculnya penyakit-penyakit dari Orde Baru seperti masalah demokrasi, korupsi, politik pembangunan, sehingga berdampak meletusnya gerakan mahasiswa 1974 dan memicu terjadinya Tritura Baru serta Malari (Malapetaka 15 Januari) yang telah menelan korban baik jiwa maupun materi. Gerakan mahasiswa 1974 berperan sebagai kontrol sekaligus korektor terhadap realitas sosial dan politik. Hal yang membedakan gerakan ini dengan gerakan 1966 adalah adanya konfrontasi antara mahasiswa dengan pihak militer.
Seperti yang telah tercatat dalam sejarah, bahwa Orde Baru merupakan orde pemerintahan yang paling banyak mendapatkan gempuran akbar gerakan mahasiswa. Setidaknya tercatat tiga prahara gerakan mahasiswa yang tergolong berskala besar. Mulai dari 1974, kemudian disusul gerakan mahasiswa 1977-1978 yang merupakan gugatan terhadap kepemimpinan nasional. Pada waktu itu mahasiswa menciptakan sendiri DPR Sementara sebagai manifestasi tuntutan akan terciptanya demokratisasi sistem politik dengan mengisi masa kekosongan (vacuum of power) setelah DPR hasil pemilu 1971 dibubarkan. Gerakan terakhir yaitu gerakan mahasiswa 1998 yang menandai berakhirnya Orde Baru.
Prahara Mei 1998 menjadi puncak gerakan mahasiswa di masa Orde Baru. Secara ideologi gerakan ini tidak dapat dilepaskan oleh pengaruh gerakan sebelumnya, dari ideologi populis menjadi anti kediktatoran dan militerisme (Harris R. Moti, 2002: 196). Gerakan yang disebut sebagai Gerakan Reformasi ini, dipicu oleh bencana hebat yaitu krisis ekonomi yang menyebabkan stabilitas politik menjadi goyah. Orde Baru yang menjadikan pembangunan sektor ekonomi sebagai misi utamanya, ternyata memelihara sistem ekonomi kapitalistik. Terlebih lagi, merajalelanya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Mahasiswa yang dahulunya dianggap sebagai “anak angkat” dari Orde Baru ternyata melawan orang tuanya sendiri dan akhirnya mahasiswa mampu mengkatalis reformasi sehingga rezim Soeharto yang dulunya dianggap kuat dan kokoh dipaksa lengser.
Refleksi Sejarah Gerakan Mahasiswa Sebagai Langkah Futuristis
Menapaki sejarah arkeologi gerakan mahasiswa yang telah diuraikan di atas, tentunya sangat bermanfaat untuk ke depan dalam berbenah dan bergerak. Gerakan-gerakan tersebut merupakan bukti sahih peran vital mahasiswa sebagai agen perubahan dan kontrol politik Indonesia. Setidaknya ada tiga problem utama gerakan mahasiswa untuk ke depannya, yakni problem internal gerakan mahasiswa itu sendiri, revolusi demokratis, dan penuntasan reformasi total.
Perlu adanya pembenahan untuk mengatasi problem internal gerakan mahasiswa, seperti melalui pendidikan progresif, menghidupkan kembali diskusi, galih khasanah intelektualitas, dan menguatkan solidaritas antar mahasiswa. Sementara itu, untuk masalah revolusi demokratis, perlu adanya konsolidasi seluruh elemen gerakan mahasiswa, serta pembanguanan kembali front yang solid yang terplatform, terpogram, dan terorganisir. Selanjutnya, dalam penuntasan reformasi total, dapat dilakukan dengan perubahan di berbagai bidang berparadigma pada pancasila serta pemberantasan para badut dan mafia reformasi.
Revitaformasi mahasiswa sebagai agen of change dan social control tentunya dapat dijalankan. Hal ini dapat diupayakan dengan menjadikan berbagai gerakan mahasiswa mulai dari prakemerdekaan, gerakan 1966, 1974, 1978, dan 1988 sebagai pelajaran mahasiswa saat ini yang merupakan estafet pembaharu selanjutnya, sehingga demokrasi sejati yang terkesan utopis dapat terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
  1. Budiyarso, Edi. 2000. Menentang Tirani: Aksi Mahasiswa ‘77/’78. Jakarta: PT Grasindo.
  2. Culla, Adi Suryadi. 1999. Patah Tumbuh Hilang Berganti: Sketsa Pergolakan Mahasiswa Dalam Politik dan Sejarah Indonesia (1908-1998). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
  3. Kahin, George Mc T. 1952. Nationalism and Revalution in Indonesia. USA: Cornel University State.
  4. Moti, Harris Rusli. “Gerakan Mahasiswa, Sang Katalisator Reformasi Total: Peran GM Saat Ini Dalam Mewujudkan Demokratisasi di Indonsesia”. Dalam Nor Hiqmah (Ed.). 2002. Indonesia Menapak Demokrasi: Evaluasi Perkembangan Reformasi dan Peran Organisasi Masyarakat Sipil. Jakarta: YAPPIKA.
  5. Saidi, Ridwan. 1984. Pemuda Islam Dalam Dinamika Politik Bangsa 1925-1984. Jakarta: CV Rajawali.